Seorang Perempuan di Loftus Road
Seorang Perempuan di Loftus
Road
Cerpen Bernard Batubara
-ditulis
sebagai respons untuk cerpen Sungging Raga,
Lihatlah. Lelaki itu duduk di sana, tersenyum
bahagia, bersama seorang perempuan cantik dan anak gadis yang lucu, di bangku
berhias salju di mana aku pernah dengan cukup sabar dan tabah menunggunya
selama berjam-jam sebagai seorang perempuan, sebelum akhirnya aku menyerah dan menghabiskan
tahun demi tahun usiaku hidup menjelma sebagai sebatang pohon.
Loftus Road, sejak puluhan tahun yang lalu
telah menjadi tempat di mana ribuan pasangan kekasih saling mengikat janji
untuk bertemu. Sebagaimana sebuah janji manusia, ada di antara mereka yang ditepati
oleh pemiliknya, ada pula yang tidak. Sayangnya, aku termasuk satu dari banyak
sekali yang bernasib malang.
Kini, Loftus Road membuatku menjadi seperti
ini. Aku bukan pohon yang istimewa, kukatakan kepadamu. Aku hanya satu dari ratusan
batang pohon yang berdiri dengan tabah di sepanjang Loftus Road yang dingin. Menunggu
seseorang yang tak pernah datang.
Kami, para perempuan yang telah mati sebagai
manusia dan tetap hidup sebagai pohon, memiliki cinta yang takkan mampu diukur
oleh lelaki mana pun di dunia. Kami menunggu, bahkan setelah kami tahu bahwa seseorang
yang kami tunggu takkan pernah datang. Aku sendiri menunggu lelaki itu, bahkan
ketika aku tahu bahwa lelaki itu kini telah menikah dengan seorang perempuan
dan memiliki anak gadis yang lucu, mirip sekali istrinya.
Aku berharap anak itu mirip denganku.
Bagaimana aku bisa menjadi sebatang pohon? Prosesnya
sungguh tidak serumit yang kau bayangkan. Waktu itu aku hanya duduk sendiri di
sebuah bangku kosong di sisi jalan Loftus Road, menunggu dengan dada yang
dipenuhi harapan, lalu ketika lelaki itu tak kunjung datang dan tanpa kusadari
aku menitikkan airmata karena terluka dan kesepian, kemudian salju pun turun,
tiba-tiba saja aku sudah menjadi sebatang pohon dan kusadari tubuhku bukan lagi
perempuan.
Kukatakan kepadamu ya. Sebenarnya tak ada
yang istimewa dari menjadi sebatang pohon. Aku hidup dan bernapas seperti
biasa, lewat daun-daun yang tumbuh di sekujur tubuhku. Aku pun melihat dengan
biasa. Hanya saja, aku tak lagi bisa bicara dengan manusia. Bahasaku kini
berbeda. Bahasa pohon-pohon. Aku cuma bisa bercakap-cakap dengan
perempuan-perempuan lain yang senasib denganku. Ya, pohon-pohon yang lain itu. Beberapa
di antara mereka masih muda sepertiku, sisanya telah berusia 90 atau 100 tahun.
Mereka bilang mereka masih menunggu. Betapa cinta bisa membuat seseorang
menunggu dan bersetia begitu lama, ya?
Mungkin aku juga akan jadi seperti mereka.
Terus menua dan tak jua bertemu seseorang yang telah aku tunggu demikian lama.
“Siapa yang kamu tunggu, Milana?”
Perempuan… ah maksudku, pohon di sebelahku
memanggil. Meskipun wujud kami adalah sebatang pohon, namun aku sering merasa
bahwa kami masih manusia.
“Kamu tahu siapa yang aku tunggu.” kataku
sembari menghela napas. Daun-daun di pujuk-pucuk pundakku bergetar.
“Lelaki itu? Bukankah dia sudah beristri?”
“Iya. Dan punya seorang anak gadis.”
“Anaknya lucu sekali. Pasti karena istrinya
cantik.”
“Iya.”
Di Loftus Road, daun-daun berguguran
sepanjang waktu. Itulah saat kami, para perempuan yang menunggu dan telah
menjadi sebatang pohon, sedang merasa sakit. Semakin sakit, maka semakin
banyaklah daun-daun yang mengering dan bertanggalan dari ranting-ranting di pinggang,
punggung, dan dada kami.
Dan tentu saja kami selalu merasa sakit. Sebab
hati kami tak pernah usai berharap dan itu yang membuat kami terus merasa
sakit.
“Apa yang kamu harapkan, Milana?”
“Kamu tahu apa yang aku harapkan.”
“Lelaki itu takkan menyadari kehadiranmu. Kamu
sudah dianggap hilang dari dunia.”
“Tetapi aku tidak hilang. Aku masih di sini.
Aku masih…”
“Menunggu. Ya, ya, itulah yang kita semua
lakukan di sini, Milana. Kita semua menunggu, dan terus menunggu…” Ia berbicara
sembari ranting-ranting di lengannya bergoyang tertiup angin, “hingga kita menjadi
semakin tua dan tak mampu lagi menahan harapan, lalu mati ditebang atau terkubur
dalam penantian.”
“Aku berharap dia menyadari bahwa aku masih
ada. Aku masih hidup. Aku hanya berubah menjadi sebatang pohon gara-gara
kelalaiannya sendiri. Aku harap suatu saat dia mendengar suaraku
memanggil-manggil namanya saat dia sedang berjalan-jalan di Loftus Road bersama
istri dan anaknya.”
“Jangankan memahami bahasa pohon-pohon,
Milana, memahami bahasa perempuan saja mereka tak pernah bisa. Para lelaki itu.”
Serta-merta aku menganggukkan kepala. Daun-daun
kering berguguran dari keningku. “Lalu, kamu sendiri, mengapa masih menunggu?
Kamu juga sudah tahu kan lelaki yang kamu tunggu takkan pernah menemuimu.”
“Begitulah cinta, Milana. Cinta itu terus
menunggu.”
“Aku mengerti sekaligus tidak mengerti.”
“Tahukah kamu, Milana, bahwa sebetulnya kita
masih bisa menjadi manusia?”
Aku terkejut mendengar perkataannya. “Betulkah?
Bagaimana caranya?”
“Mudah sekali. Sama seperti ketika kamu
berubah dari seorang perempuan menjadi sebatang pohon. Kamu hanya perlu
menangis.”
“Itu saja?”
“Iya, tapi kali ini kamu harus melakukannya
ketika bulan sedang purnama.”
“Kedengarannya mudah sekali.” Aku bergumam.
“Lalu mengapa kamu tidak menangis di bawah bulan purnama dan kembali menjadi
manusia? Mengapa pohon-pohon lain tidak melakukannya juga?”
Kudengar desahan napas yang berat darinya. Seekor
burung, dua ekor, tiga ekor, hinggap di telinganya.
“Untuk apa, Milana? Aku sudah cukup bahagia hanya
dengan melihatnya. Jika aku menjadi manusia lagi, siapa yang tahu pasti bahwa
dia akan menepati janji? Dia sudah pernah mengecewakanku. Dia bisa melakukannya
lagi.”
“Kamu terlalu pesimistis.”
“Aku terlalu cinta, Milana, hingga aku
merasa takut. Pohon-pohon di Loftus Road sudah menghabiskan usia mereka terlalu
lama dalam penantian. Mereka, sama sepertiku, sudah merasa cukup dengan luka
pada masa lalu.” Burung-burung di telinganya berpindah ke tengkukku. “Kamu
masih muda, Milana, dan harapan di tubuhmu masih segar dan tumbuh dengan baik. Tapi,
sebelum kamu menangis di bawah bulan purnama nanti, yakinlah bahwa apapun yang
terjadi, kamu akan menerimanya dengan ikhlas.”
“Iya.”
***
Pada malam di mana langit mempersembahkan pesona
bulan purnama yang anggun, aku pun menangis. Aku tidak tahu mengapa mudah
sekali bagiku untuk menangis. Kukatakan kepadamu ya, tak ada kesulitan yang
berarti. Aku hanya mengingat ketika terakhir kali aku menunggu lelaki itu. Aku
mengingat detik-detik yang terasa panjang dalam kesunyian dan luka, dan aku pun
menangis.
Lalu aku merasa tubuhku menciut, tangan dan
kakiku menyusut, daun-daun di kepalaku seluruhnya gugur dan perlahan-lahan
tumbuh rambut. Tak berapa lama, aku pun telah kembali menjadi seorang manusia. Ajaibnya,
entah bagaimana, aku telah berpakaian, pakaian yang sama seperti saat aku
menunggu dia, lelaki yang kucinta itu.
Entah sebuah kebetulan atau memang sudah
takdir, lelaki itu ternyata sedang berjalan-jalan di satu sudut Loftus Road. Ia
sendirian. Ke mana istri dan anaknya? Tapi karena ini malam hari, kurasa memang
bukan jam yang tepat untuk mengajak jalan-jalan keluarga. Lalu, mengapa ia ke
sini?
“Hai.” Aku memberanikan diri menyapanya.
Lelaki itu menoleh kepadaku. Ia tampak
terkejut, tapi sepertinya ia cepat menyesuaikan diri. Dengan langkah pelan, ia
menghampiriku. Semakin ia mendekat, semakin lebar senyum tersungging di
bibirku.
Aku duduk di bangku. Ia duduk di sebelahku.
“Kamu…”
“Ya, aku Milana.”
“Sudah lama aku tak bertemu kamu. Sejak…”
“Janji bertemu kita yang pertama dan
terakhir di sini. Kamu tak datang.”
“Maaf. Waktu itu aku…”
“Sudahlah, tidak penting. Sekarang kita
sudah bertemu. Akhirnya.”
“Ya, akhirnya. Tapi…”
“Mengapa kamu ke sini malam-malam begini?”
Ia menundukkan kepala, terlihat tak
bersemangat. Kedua tangannya ia masukkan dalam-dalam ke saku jaket. Embusan
napasnya membentuk seperti asap karena suhu yang amat dingin. Napasku juga.
“Keadaan di rumah sedang tidak baik.”
“Kamu bertengkar dengan istrimu?”
“Bagaimana kamu tahu?” Ia menggelengkan
kepalanya cepat. “Ah, maksudku, bagaimana kamu tahu aku sudah punya istri? Dan,
ya, bagaimana kamu tahu aku bertengkar dengan istriku?”
“Tidak penting bagaimana aku tahu.”
Daun-daun gugur yang tergeletak di jalan
tertiup oleh angin. Kabut mulai terlihat.
“Begitulah. Kehidupan rumah tangga itu
rumit.”
“Kehidupan tak berumah tangga juga.”
“Intinya, hidup itu rumit.”
“Apa yang terjadi?”
“Setiap minggu kami bertengkar. Ah, tidak,
bahkan hampir setiap hari. Dia menuduhku selingkuh.”
Aku mengernyitkan dahi. “Dan apakah kamu
memang selingkuh?”
“Aku hanya berjalan-jalan di malam hari.
Sendirian. Karena aku tidak pernah mengajaknya, ia menuduhku selingkuh.”
“Mengapa kamu tidak mengajaknya?”
“Aku butuh waktu sendirian. Kamu tahu, aku senang
jalan-jalan sendirian. Dan yang paling menyebalkan, aku sering menemui dia pulang
larut malam dalam keadaan mabuk. Aku tak tahu sebelumnya dia gemar sekali
minum, istriku itu. Aku menegurnya tetapi dia malah mengomeliku seolah aku anak
kecil. Dia memperlakukanku seperti aku bukan lelaki yang berharga. Karena
itulah kami sering bertengkar. Ya, karena itulah…”
“Terdengar rumit sekali.”
“Apa kubilang.”
Aku bersandar, kedua tanganku menahan beban
tubuh. Tanpa sadar, di atas bangku kayu yang lembab, jari kelingkingku bersentuhan
dengan jari kelingkingnya. Aku terkejut. Sesaat kemudian, ia sudah menggenggam
tanganku.
“Maaf, aku tak seharusnya menceritakan ini
semua kepadamu.”
“Tidak apa-apa.”
Lalu tanpa sempat aku antisipasi, tiba-tiba
saja ia memelukku. Di tengah cuaca Loftus Road yang membeku, sekujur tubuhku
terasa hangat.
“Kadang juga aku masih memikirkanmu.”
katanya.
Sejak itu, kami terus berjanji untuk bertemu
di sini, di Loftus Road. Kali ini aku bahagia, sebab ia tak pernah terlambat
sedetik pun.
Tetapi seberapa lama pun aku dapat
memeluknya, aku tetap harus ikhlas melepasnya saat ia akan kembali kepada
istrinya. Di Loftus Road yang dingin dan berkabut, aku menjadi satu-satunya perempuan
yang menyambut kedatangan dan kepergian seperti bernapas, menerimanya sebagai
rutinitas. Setiap hari, setiap malam.
***
Komentar
Posting Komentar